Kisah ini dialami seorang
kawan.Kebetulan satu dasawarsa lalu,dia berada di salah satu kota yang dilanda kerusuhan.Begitu ada
tanda-tanda tak terkendali,dan setelah membereskan pekerjaannya,iapun minta
ijin untuk meninggalkan kantor lebih dahulu.Dia mengungkapkan kegelisahannya “saya tidak bisa konsentrasi,karena anak
istri dirumah sendirian.Apalagi anak yang kecil baru panas”.Alasan yang
manusiawi sekali.
Sesampai di rumah,kawan
saya berkoordinasi dengan keluarga. Kerusuhan sudah menjalar.Kebetulan jalan
depan rumah digunakan untuk jalur pemecahan massa.Akhirnya kebingungan
sendiri,tidak tahu harus berbuat apa kecuali instropeksi dan berdoa mohon
perlindunganNya.
Depan rumah dipenuhi massa,dan pagar rumah
hanya sepinggang orang dewasa.Mendadak ada orang mengetuk pintu rumah(berarti
sudah masuk kehalaman rumah).Berdebar,mengintip lewat sela-sela korden yang
sudah ditutup.Ternyata yang didepan pintu adalah koordinator satpam kantor.Pak
Djalal, pensiunan komandan CPM(Corps Polisi Militer),sudah paruh baya,minta
ijin masuk.Beliau meminta kawan saya untuk segera mengungsi.”Bapak tidak usah bingung soal kantor nanti saya yang urus.Yang
penting harus segera pergi dari sini.Situasi gawat” Mungkin karena mantan
komandan,ada nada perintah tegas disuaranya.”Bapak
dan keluarga harus cepat berbenah dan keluar dari sini, tidak boleh
tenang-tenang.Nanti mobil saya minta
kesini menjemput”
Ditengah situasi
kalut,kawan saya berkata:”Pak Djalal,
terima kasih atas
perhatiannya.Saya tidak tenang-tenang,tapi baru berpikir cari
jalan keluar.Kalau diminta segera menyingkir sangat setuju,tapi lewat mana? Apalagi pakai mobil,mau masuk ke jalan ini dengan cara
bagaimana”?
Baru sadar kalau jalan
depan rumah sudah dipenuhi massa dan mobil tidak mungkin masuk,akhirnya Pak
Djalal meninggalkan rumah dan berpesan bahwa nanti akan kembali lagi untuk
membantu kawan saya “lari” .Situasi semakin gawat,kawan saya akhirnya
berinisiatip mengungsi ke rumah tetangga,Pak Jatmiko,pemangkas rambut
langganannya.Disambut dengan ramah dan diminta beristirahat.Jam 18.00 tahu-tahu
Pak Djalal- sudah berdiri didepan pintu rumah Pak Jatmiko.Lengkap dengan mobil
kantor menjemput dan memintanya segera berangkat.Usai mengantar keluarga
menyingkir, Baru teringat kalau sejak pulang kantor belum makan apapun.Setelah
melewati ketegangan beruntun perutpun mulai terasa lapar.Sambil mencari tempat
untuk makan,Pak Djalal minta “kalau bisa
makan yang kuah-kuah saja” . Walau bukan sasaran kerusuhan,Pak Djalal dan
Pak Narimo-Pengemudi ternyata ikut ketakutan “sehingga selera makan hilang”,ujarnya. Walhasil merekapun sama-sama belum makan dan baru bisa merasakan
lapar setelah di luar kota.
Setelah menitipkan
keluarganya diluar kota,kawan
saya kembali lagi.Di perjalanan, coba memantau situasi dengan menelphone Pak
Jatmiko. Diterima istrinya,langsung melarang balik lagi”Jangan pak, situasi berbahaya,kerusuhan sudah ke pinggiran kota.Bapak
menyingkir saja dulu’
Saat menjelang dan sesudah
tumbangnya rezim orde baru terjadi kacau di mana-mana. Ada dalih membingungkan, konon “aparat tidak digunakan untuk menghadapi
rakyat”.Saya tercenung. Tidak ada yang meminta aparat menghadapi
Rakyat.Tapi kewajiban aparatlah untuk mengatasi pengacau. Seakan lupa,situasi
dipicu tindakan represif aparat kepada
mahasiswa Trisakti.Dan terus berlanjut.Saat demo mahasiswa yang berujung
Tragedi Semanggi ditayangkan teve,kawan saya dengan mata berkaca-kaca bergumam “Mungkinkah mahasiswa bukan masuk kategori
rakyat?kok justru mereka yang diperlakukan seperti gerombolan pengacau” .Kekacauan
pun berkembang hingga di Ambon,Kalimantan,Aceh. Dampaknya,ada warga
eksodus pulang ke daerah asal hingga ke luar negeri.Kejadian ini memancing
reaksi sementara pihak yang dengan sinis merespon lari sebagai tindakan
tidak nasionalis.Bahkan ada Gubernur yang tega memakai istilah ngacir.
Terbawa arus memvonis
sesuai opini yang dibentuk sepertinya akan mengabaikan akal sehat dan budi
pekerti.Karena dalam perang gerilya,ada taktik Pukul-Lari.Di Olah raga tinju yang menjunjung tinggi sportifitas,mengenal
Hit and Run.Lari dipahami dan dianjurkan sebagai tindakan sesuai akal
sehat saat kondisi sangat berbahaya.
Menghargai nyawa dan
kehidupan karuniaNYA adalah hal wajib dilakukan setiap insan.Bahkan,Tuhan Yang Maha
Kuasa,dalam menguji kesetiaan umatnya tidak pernah dengan meminta
nyawa.Tuhan memang meminta anak tunggal Abraham, Ishak,untuk dijadikan kurban
persembahan.Toh itu hanya menguji semata .Dan tidak sungguh-sungguh minta (nyawa)
Iskak dikurbankan.
Para eksodan turun temurun di
negeri ini sejak berabad lalu. Hal sama juga etnik pendatang di Aceh, Kalimantan. Mereka sudah tiada beda dengan warga setempat
dalam hal ikatan batin.Penyebab eksodus sama.Saat kekacauan,hak asasinya tanpa
perlindungan semestinya oleh Negara.
Membaca majalah
FORUM,seminggu sebelum lengsernya Presiden Soeharto mbak Tutut
menegaskan bahwa “seluruh
keluarganya tak akan lari ke luar negeri,karena Indonesia adalah tanah
kelahirannya/tumpah darahnya.” Dalam hati berdecak kagum.Inilah yang
namanya Jiwa Patriot.
Rasa kagum yang berpotensi
berlebihan,berangsur-angsur rasional.Setelah mengikuti dengan jernih
pemberitaan media waktu itu.Dikoran terkemuka (Kompas 22-5-1998) tertera hal
logis yang melatar belakangi sikap”patriotic” keluarga Presiden
Suharto.Yaitu,Pernyataan: ”Dukungan Jendral TNI Wiranto”,dimana pada point 4
secara tegas dan jelas menyatakan;
’Menjunjung tinggi nilai luhur budaya bangsa,ABRI akan tetap
menjaga keselamatan dan kehormatan para mantan Presiden/Mandataris MPR termasuk
Bpk Soeharto beserta keluarganya”.
Walaupun,adanya kata2 “para mantan presiden” ,tidaklah
otomatis menjadi bermakna “Menjunjung
tinggi nilai luhur budaya bangsa”.Karena hingga saat itu, mantan presiden Soekarno
sudah wafat. Jadi hanya ada Pak Harto sebagai mantan presiden satu2nya yang
diberi dan menikmati “fasilitas” keselamatan dan kehormatan.Toh pernyataan ini
“diamalkan dengan murni dan konsekwen”.
Jelas, karena inilah
terjadi perbedaan sikap antara Keluarga mantan presiden Soeharto yang patriotik
dengan perilaku para warga (negara biasa) yang “ngacir” jadi eksodan dalam menghadapi situasi yang tidak menentu
waktu itu.
Tanpa ini,(mungkin)
ceritanya berbeda.Sekaliber(mantan) Diktator Chile,Pinochet,
dan (mantan) PM Thailand,taipan
Thaksin Shinawarta pun terpaksa menyingkir ke London. (mantan) Presiden Philipina
(alm)Ferdinand Marcos juga sama, menyingkir ke Hawai.
Teringat perintah tegas
Pak Djalal kepada kawan saya:.”Bapak dan keluarga harus cepat berbenah
dan keluar dari sini, tidak boleh tenang-tenang…”
Juga teringat kekhawatiran
Bu Jatmiko kepada keselamatan kawan saya yang notabene “bukan apa-apanya”: ”Jangan pak, situasi berbahaya,kerusuhan
sudah ke pinggiran kota.Bapak menyingkir saja dulu’
Dalam hati saya
bertanya,mungkinkah seorang gubernur kalah dengan komandan satpam dan istri
pemangkas rambut dalam pemahaman dan kepedulian terhadap hak azazi manusia.
Patriotisme adalah paham
cinta tanah air. Kebangkitan Bangsa Indonesia dapat dimulai dengan
penyegaran kembali terhadap maknanya. Tolok ukur Cinta Tanah Air tidak bisa
terlalu disederhanakan.Sehingga Lari dan Menyingkirnya warga negara biasa
karena terancam keselamatannya tentu
tidak bisa dinilai semata-mata sebagai ngacir
ataupun tidak cinta tanah air…
Semarang ,18-Februari-2008
(Purnomo Iman Santoso alias The Tjiauw Liong)
Villa Aster II Blok G no.
10,Srondol,
Semarang
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home