Cuti Lebaran,keluarga
berkumpul.Biasanya kita berbincang saat pagi hari sebelum jam 8.00 dan sehabis makan malam .Meski cuti lebaran,tapi
ada aktifitas yang berjalan seperti
biasa.
Suatu saat,dalam
perbincangan,anak saya yang besar bertanya “Menurut Papa,orang itu bisa berubah
tidak”?Saya jawab …”Ya pasti berubahlah…lha wong
kamu saja dulu bayi sekarang sudah besar”.Terus lanjut bertanya “Kalau aku
orangnya bagaimana pah”.Jadilah spontan bercerita bahwa yang paling menjengkelkan adalah saat saya temani
ke toko, memilihnya lama banget(entah beli pensil,bolpoin,buku dll).Tapi itu
dulu.Sekarang,meski tetap detail tapi jauh lebih cepat ambil keputusan.Ternyata
hal ini diakui,betul oleh anak sulung.Saya membatin“ya betullah,namanya orangtuanya,pasti
perhatian dengan perkembangan anaknya”.Di
Surabaya si sulung punya sahabat
karib.Meski mereka ada kesamaan, sama-sama cerianya dan punya solidaritas
kuat,tapi sebetulnya ada hal yang bertolak belakang.Anak saya detail,sahabatnya
sebaliknya.Persahabatan mereka saling mempengaruhi satu sama lain secara
positif.Ya…syukurlah
Untuk mawas diri ,gantian
saya bertanya “kalau papa orangnya bagaimana”? dijawab “Pa orangnya
KERAS”…..hahhhh ???..saya kaget!.Karena selama ini yang saya rasakan justru
anak-anak saya lebih galak ke papahnya daripada sebaliknya.Namun toh untuk
memastikan saya bertanya “apa kamu pernah
di bully,luka batin dll” Jawabnya “Nggak
pernah sih. Bukan itu maksudnya pah,tapi pa orang keras pokok e”
Capai beraktifitas
,biasanya saat malam mudah tertidur.Tapi kali ini terngiang-ngiang jawaban anak “Pa orangnya
KERAS”…wahhh….jangan2 anak-anak pada terluka batin nih.Belum lagi istri….Terus
terang jadi kepikiran.
Meski
mata merem tapi pikiran melayang berkilas balik.
Saya punya target sampai
anak-anak berusia 17 tahun harus meluangkan waktu sebanyak-banyaknya.Pertimbangannya,tidak
ingin lihat anak “ujug”2 sudah besar/dewasa. Sesibuk apapun,pokoknya saya ingin
berkumpul, bercerita, berbagi secara aktif untuk menanamkan hal2 yang (menurut
saya) baik ke anak-anak.Kenapa sampai usia 17 tahun? Ya waktu itu
berandai-andai,siapa tahu setelah kuliah diluar kota(meski saya inginnya sih kuliahnya
tetap di Semarang).Ternyata tepat.Anak saya yang sulung ,sampai dengan SMA bersama.
Tapi,kuliahnya diterima jalur khusus di perguruan tinggi di Surabaya. Melihat
semangatnya, sayapun akhirnya setuju,toh sudah sesuai target, sudah bersama
sampai lulus SMA .Si bungsu,berbeda.Kami hanya bersama sampai saat Klas 1
SMA.Karena sesuatu hal,akhirnya pindah ke luar kota.Jadilah tidak sesuai
target.Sebelum lulus SMA sudah harus berpisah.Lulus SMA ,ternyata si bungsu
juga diterima jalur khusus di Perguruan Tinggi yang sama( pilih sendiri) di Surabaya.
Saya (bersama istri
tentunya) berupaya sebisa mungkin memberi pembekalan,sebanyak-banyaknya.Demi
pertimbangan disiplin,kesehatan,menghargai waktu, kemandirian, pendidikan,budi
pekerti dll kita memang terkadang bila perlu harus “memaksakan”.Dari sikat
gigi,kebersihan,bahkan demi anak tidak ngompol,kami meski ngantuk tetap bangun
tengah malam untuk “menatur”/membangunkan
anak untuk ajak buang air kecil di kamar mandi.Kami biasa tidur bersama satu
kamar.Kita tidak akan permisif,berkompromi membiarkan anak (terbiasa) mengompol
dengan dalih tidak tega membangunkan dengan argument“sayang anak”. Saat SD
kalau pagi anak-anak susah bangun,wajahnya saya perciki dengan air
dingin(tujuannya agar ngantuknya hilang),mandi+sarapan dan tidak terlambat ke sekolah.
Dll,dll,dll.Hidup memang pilihan.Disatu sisi mendukung minatnya(a.l Biola,Basket,menentukan
sendiri Perguruan Tinggi dan Jurusannya).Tapi disisi lain memilih “memaksa”
anak sikat gigi.Dan memang,anak-anak tidak ada yang giginya berlubang.Juga tak
ada yang berkaca mata.Mungkin ini yang ditafsirkan sebagai KERAS.Bagaimana setelah
usia 17 tahun?Saya tak lagi mengatur seperti saat sebelumnya.Lebih banyak
mendengar.Berpendapat kalau ditanya ,dan sharing
kalau dipandang perlu.Selebihnya obrol ringan saja.
Berhenti
Merokok.
Sepulang
kerja anak-anak masih kecil biasa menyambut.Badan lelah,pikiran sudah “low
batt” mendadak kembali segar
rasanya.Spontan merengkuh anak-anak untuk di gendong sambil dengar celotehan
yang selalu berganti topik.Awalnya,lancar-lancar saja. Namun,begitu si sulung
lewat balita, mulai berubah. Setiap akan di gendong justru berontak sambil berteriak“….papah bau”.Si bungsupun ketularan.Saat
itu saya perokok aktif.
Protes anak-anak “ …papah bau..” mengganggu pikiran dan
mengusik batin secara kuat.Sejak itu, berusaha lebih keras untuk berhenti
merokok. Merubah persepsi menjadi bukan perokok saja sudah tantangan luar biasa
. Jangankan tidak merokok.Saat (sengaja) tidak berbekal rokok saja sudah
“aneh”.Dan biasanya teman-teman langsung
menawarkan rokoknya karena dianggap saya “kelupaan”.
Ikuti saran agar ke
dokter gigi untuk membersihkan karang/plak yang merupakan “sedimentasi” nikotin yang menempel di gigi(dihitung sejak
SMA/aktif merokok).Konon,plak gigi ex nikotin itu mirip yang menempel di pipa
rokok.Kalau tidak dihilangkan ibarat candu.”Sensasi”nya akan kuat menggoda kembali ke kebiasaan lama (merokok).
Setelah sebelumnya
sering gagal berulang, akhirnya bulan September 1997 berhasil berhenti merokok
secara total.Semakin yakin bahwa telah bebas dari rokok adalah saat bermimpi
merokok,saya bisa mendadak terbangun dan antara sadar-tidak sadar bergumam kesal pada diri sendiri “…lho kok merokok lagi ya? Khan katanya
pingin berhenti?” Jadi,mimpi merokokpun sudah menyesal banget.
Yang sangat
disyukuri adalah untuk berhenti merokok diberi semacam triger/pemicu (“hanya”) berupa protes keras anak-anak“….nggak mau…papah bau…”.Bukan karena
sakit….beruntung banget
Saya mungkin “keras” terhadap anak-anak (meski sebenarnya niatnya
JELAS) demi membekali untuk masa depannya. Mudah2an upaya keras (salah satunya)
dengan berhenti dari (“hobby”) merokok,bisa menjadi penyeimbang sikap “keras”
saya ke anak-anak dimasa lalu.Karena saya juga Keras pada diri sendiri.
Apapun,menjadi orangtua memang
harus menjadi pembelajar seumur hidup
(Semarang,8
Juli 2018)