Friday, June 27, 2014

Warisan Kolonial



Lawang Sewu, gedung-gedung di kawasan kota lama yang berarsitektur Eropa, Toko Oen, menjadi daya tarik tersendiri menggairahkan wisatawan dari Belanda dan Eropa untuk  berkunjung ke Semarang khususnya dan Indonesia umumnya.Bestik lidah sapi,kue keringan/lidah kucing,maccaroni skottel  , juga spekkoek –“kue lapis” dengan campuran mentega-kuning telor-terigu, aneka kue resep lezat warisan selera“colonial” benar-benar layak untuk terus ada,karena akan memperkaya dan menambah warna  kuliner nusantara . Jaringan jalan Kereta Api,juga warisan kolonial.Untuk yang masih berguna dan terus memberi manfaat bagi bangsa Indonesia ,meski warisan kolonial,tak ada salahnya di lestarikan.Bahkan harus dikembangkan.
Jaman penjajahan , untuk menggerakan pemerintahan, dikelola birokrat yang mendapat julukan Abtenar.Konon,mereka  digaji oleh Kerajaan Belanda.Para Abtenar menjalankan tugas-tugas  untuk melayani kepentingan Kerajaan dan Rakyat Belanda.Tak heran,kalau di kisah komik,para abtenar ini umumnya bersikap merendahkan terhadap warga yang tinggal di Hindia Belanda.Yang mereka hormati tentunya hanya para petinggi belanda/VOC dan sesama warga Belanda yang memang menjadi junjungannya.Tak Heran,sejarah menunjukkan kisah2 semua suku dan ras melakukan pemberontakan bahkan secara bahu membahu.
17 Agustus 1945 ,Indonesia Merdeka.Belanda,Jepang, enyah dari negeri ini. Sebagai bangsa merdeka kita dituntut  harus melengkapi diri  dengan aparat hingga birokrat untuk menggerakkan roda pemerintahan. Secara bertahap,menata diri,sampai akhirnya system terbentuk. “Rumah Tangga” Negara pun butuh pembiayaan untuk menggaji para aparatur dan birokrat.Wargapun diminta urunan,dipungutlah  pajak.Pajak yang terkumpul,untuk menggaji operasional para pengurus Negara tersebut.Namun ada yang mengganjal.Masyarakat masih sering sekali menjumpai pelayanan yang berstandar ganda.Kualitas pelayanan tidaklah sama.Tidak terbantahkan kalau melayani pejabat/aparat/elite,pasti kualitas pelayanan prima.Kalau jelata,orang biasa ,pelayanan berbeda atau bahkan ala kadarnya.Memang telah dicanangkan reformasi birokrasi.Tapi ketrampilan birokrat untuk memetakan,dan memberi pelayanan sesuai “kasta” ,masih saja terjadi.Meski sudah mulai ada perubahan,tapi belum optimal.Gubernur DKI Jakarta,beberapa kali melakukan sidak,sering menjumpai masyarakat mengantri.Karena sang birokrat di jam kerja yang semestinya, ternyata belum ditempat. Iseng-iseng buka kamus Belanda-Indonesia yang disusun oleh Yan Tirtobisono,Penerbit Apollo-Surabaya.Menelusuri huruf A mencari arti kata Abtenar,lho kok tidak ada. Coba lebih teliti, akhirnya …..ketemu.Ternyata istilah yang benar adalah Ambtenaar yang artinya adalah Pegawai Negeri.
Ah ketemu sudah penyebabnya kenapa para birokrat dan aparat mempunyai standar ganda saat melayani.Ya ,karena predikat mereka adalah Pegawai Negeri(=ambtenaar yang dibahasa Indonesiakan). Paradigmanya ,pegawai Negeri maka yang menggaji adalah Negara.Atasannya adalah (pejabat)Negara,sehingga kepada merekalah segala pelayanan prima dicurahkan .Bahkan ada satu masa atasan pegawai negeri  identik dengan partai berkuasa.Mungkin ,karena ini,kalangan pegawai negeri tidak merasa bahwa yang menggaji adalah sebetulnya (dari pajak yang dibayar) masyarakat/ rakyatnya.Tak heran,fasum-fasos hanya akan segera dirapikan,bila perlu dibangun  secara tergesa-gesa,demi pejabat yang mau lewat dalam hitungan menit atau berkunjung dalam hitungan jam.Untuk kemudian dibiarkan tak terawat,meski warga masyarakat, membutuhkan fasum-fasos tsb sehari-hari.
Untuk menunjang suksesnya reformasi birokrasi yang berorientasi pelayanan prima untuk publik, melengkapi pola lelang jabatan yang telah dimulai di DKI-Jakarta,perlu dipikirkan untuk mengganti istilah Pegawai Negeri ini dengan menggunakan istilah baru yang semangatnya sejalan dengan pelayanan prima untuk masyarakat.Dalam pemahaman sebagai awam,mungkin karena istilah Pegawai Negeri ini artinya Ambtenaar,maka pada prakteknya semangat mengabdinya sebetulnya bukan ke masyarakat(meski sering menyebut diri sebagai abdi masyarakat). Seperti halnya Devide et impera,spirit eksploitasi ala VOC; spirit ambtenaar  adalah warisan colonial yang merugikan.Karena  semangatnya tidak  berorientasi kepentingan pelayanan prima kepada rakyat Indonesia.Warisan Kolonial jenis (merugikan) seperti ini yang tak boleh dilestarikan.
Semarang ,27 Juni 2014
(Purnomo Iman Santoso-EI),
Villa Aster II Blok G no. 10,Srondol,
Semarang 50268

Friday, June 13, 2014

DEBAT



Di era orba ,komunikasi  elit dengan masyarakat di lakukan antara lain dengan acara temu wicara yang sangat terkenal dengan sebutan Klompencapir.Disiarkan oleh (satu-satunya) teve dan radio yaitu TVRI dan RRI. Menjelang berakhirnya era Orba  ada acara berbeda yang disebut Talk Show.Dipandu oleh Wimar Witoelar,acara ini tayang di teve swasta,kalau tak salah SCTV,pertanyaan bersifat mengalir.Tanpa bahasa protokoler,tanpa scenario,pertanyaan kritis bisa terlontar secara nakal oleh host. Ada nuansa pencerdasan bagi khalayak.
Masuk era Reformasi,talkshow semakin berkembang,topiknya semakin kaya. Mata Najwa kombinasi talkshow dan “investigasi”.Tea time with Dessy Anwar mewawancarai tokoh2 inspiratif tak terbatas domestic tapi juga international . Kick Andy menggali karya mandiri warga yang luar biasa.Acara tersebut benar-benar mengangkat karya nyata nara sumber.Tak disadari,Visi misi nara sumber tergali  otomatis melalui pertanyaan ringan dan rileks. Kalau dirasakan,ternyata karya nyata mereka benar-benar pewujudan dari angannya. Selaras dengan visi misi .Dan….ketika tepuk tangan penonton menggema,lebih karena perasaan kagum bercampur hormat atas karya nyatanya. Tepuk tangan tanpa aba-aba,bergema dengan sendirinya,saat nara sumber berhenti bicara.
Menjelang Pilpres,Pilgub digelar acara debat antar calon.Para calon pemimpin diminta memaparkan visi-misi.Semua indah dan hebat.Hanya saja, tidak semua calon punya karya nyata yang manfaatnya bagi masyarakat luas dan sudah dirasakan. Debatpun bisa terasa melayang-layang,ketika diartikan menjadi ajang pamer kemampuan berandai-andai.Sarat wacana dan pelambang. Tepuk tangan hingga  olok-olok (hhuuuuuu…) supporterpun mudah terdengar latah, berdasarkan semangat menang kalah.Karena ajang tersebut hanya dimaknai sebagai “ring” adu ketrampilan bersilat lidah.
Sekedar ilustrasi: Di buku Dreams of My Father disebutkan, tahun 1983 Barrack Obama meninggalkan kehidupan mapan di pasar saham Wall Street untuk terjun langsung sebagai politisi. Memulai kariernya di Calumet, kawasan kumuh di Chicago Selatan.Sering harus mengalami makian hingga diusir saat melakukan inventarisasi masalah sosial terkait ketidaknyamanan dan ketidakadilan yang dialami warga yang dimarginalkan maupun didiskriminasikan. Hingga memimpin demo melawan konspirasi antara pemegang kekuasaan dan pemilik modal yang merugikan masyarakat banyak.Melalui tahapan proses sebagai senator, perjalanan panjang kariernya memasuki babak baru. Karya nyatanya dikuatkan dengan ”mantra” Yes, We Can! berhasil menaklukkan hati rakyat, yang bahu - membahu memberikan dukungan moral dan moril.  Menang pertarungan ketat dengan para pesaingnya, 20-1-2009, Barrack Obama dilantik menjadi presiden kulit hitam pertama Amerika Serikat.

Menonton pertandingan sepakbola,basket,lebih menarik.Visi misi,dan proses struggle-survival terpapar jelas dalam bentuk aksi-aksi nyata.Terobosan bukan dalam ujud berkeringat diatas panggung. Tapi berkeringat di arena senyata-nyatanya dan dalam aksi-aksi sebrillian-bliliantnya.Dari gerakan tanpa bola,menghasilkan aksi coming from behind yang membuat lawan terkesima.Hingga Backhell  ala Zlatan Ibrahimovic yang membuat kiper lawan terpana menyaksikan sikulit bundar bersarang digawangnya.Belum lagi,gol-gol yang diawali Drible-drible ajaib Lionel Messi,Cristianto Ronaldo,Arjen Robben yang mengobrak abrik pertahanan lawan.Hingga …Tangan Tuhan…Gol “tak ada yang mustahil” ala Maradona.Semua buah rangkaian bertahun-tahun berkebiasaan beraksi nyata . Michael Jordan memaparkan visi-misinya dalam shooting jarak jauh,slamdunk,lay up yang cemerlang.Nama besarnya identik karena kejituan,ke akurasi an,karena proses prestasi alami panjang, dan tak sepotong-sepotong.Sekali lagi,ketika tepuk tangan penonton menggema,lebih karena perasaan kagum dan hormat atas aksi nyatanya. Tanpa aba-aba dari wasit maupun hakim garis.Dengan sendirinya,penuh sportifitas.Bahkan bisa muncul dari kubu lawannya.
Benar juga ada teman bijak berujar.Daripada(nonton)Debat mendingan makan nasi goreng babat. Maknyuuuuusss….zzzzz

Semarang , 13 Juni-2014
(Purnomo Iman Santoso-EI),
Villa Aster II Blok G no. 10,
Srondol, Semarang 50268