(alm) AYAH saya ,adalah sosok yang
sederhana dan cenderung pendiam.Beliau,penyandang “title” WBA (Wong Banyumas
Asli).Bukan karena lupa,namun memang tak
banyak yang dinasehatkan untuk anak-anaknya.Saking sedikitnya nasehat,jadi
mudah teringat.Mengalah untuk Menang,Berani karena Benar ,waar een will is,is een weg (dalam bahasa belanda,saya selalu tulis
ulang-mudah2an tidak keliru,yang artinya, dimana ada kemauan-disitu ada jalan),struggle-survival.Nasehat yang selalu
ter ngiang hingga kini.Dan satu lagi nasehat yang juga tak bisa dilupakan
sepanjang hayat dikandung badan,(maaf ini dalam bahasa banyumasan), aja mung bisa né KEPLOK karo MOYOK.
Ditengah
hiruk pikuk era demokrasi,kita dengan mudah menyaksikan hal-hal yang dimasa
sebelumnya dinilai tabu.Sekarang orang lebih mudah mengkomunikasikan pendapat
berbeda.Kalau di masa sebelumnya orang cenderung (hanya bisa)menggerutu untuk
sesuatu yang tidak disetujuinya,kini perbedaan pendapat dapat disampaikan
secara lugas .Stigma vocal,tak lagi
populer.Kalau dimasa sebelumnya,teve lebih memilih menayangkan acara dialog
yang terskenario,kini media elektronik,sering menayangkan acara-acara yang
melibatkan nara sumber kritis dengan sudut pandang berbeda, untuk menanggapi
permasalahan yang sama. Sebenarnya ini suatu indikasi positif dalam proses
pencerdasan masyarakat.
Media
elektronik menayangkan acara dengan thema Debat,pada setiap Pemilu(maupun
Pilkada).Inginnya,untuk menggali dan mensosialisasi visi-misi sang calon
pemimpin. Namun,ternyata,menyelenggarakan acara Debat tak semudah membuat iklan
promosi sang calon.Entah karena terbatasnya waktu,atau moderator maupun penguji
dalam menggali visi misi sang calon kurang menggunakan bahasa orang biasa.Alhasil,
acara debat sering kali tidak mudah di mengerti masyarakat awam karena bahasa terkesan
kelewat elite.Dengan kata lain ,menjadi kurang menarik karena tak mudah
dipahami disamping terasa monoton.Bahkan,jangan-jangan, belum tentu juga dipahami
sepenuhnya oleh team sukses yang menjadi supporternya.Jadilah,tayangan debat,lebih
menjadi ajang tayang (adu) Tepuk Tangan(Keplok)
dari masing-masing team sukses. Saatnya tiba untuk mewujudkan janji-janji,masyarakat
dengan dibantu media cetak maupun elektronik, memantau.Di era IT,Monitoring di
rancang dalam bentuk tayangan on the spot hingga dialog interaktif dengan
pemirsa.Di tahapan ini, ketidakpuasan sering terungkap tak lagi sebatas
kritik,protes.Di kalangan elite justru,ironisnya, sudah sampai tahap mencela (Moyok).Bahkan, celaan tak selalu ke
lawan,tapi juga saling mencela ke kawan sendiri yang dimasa pemilihan diusung
dengan gegap gempita sebagai sosok sempurna tanpa cela yang sarat puja.Kalau
masyarakat protes dengan bahasa sederhana/to the point namun tetap santun.Para
elite, bahasanya berputar-putar agar terkesan santun,meski sebenarnya baru
saling mencela.
Kebiasaan
Keplok-Moyok,semestinya tegas-tegas harus di stop.Selain tidak sehat,juga tidak
mendidik.Kita tentu sepakat Keplok-Moyok
hanya akan me wabahkan perilaku Hipokrit/munafik.Bangsa Indonesia
akan menjadi Besar oleh perilaku Jujur Apa Adanya.
(Tulisan
ini dalam rangka mengenang sosok Ayah,kebetulan tanggal 17 Juni adalah Fathers
day)
Semarang ,22-6-2012
(Purnomo Iman Santoso-EI)
Villa Aster II Blok G no. 10,Srondol,Semarang 50268