Pada Pidato Pembukaan Kongres Bahasa Indonesia VII, 26 Oktober 1998,Presiden BJ Habibie ,sempat menyebutkan “jauhkan Eufemisme”. Hal ini ditepis oleh Guru Besar liguistik IKIP Medan Prof.Daulat P Tampubolon.
Eufemisme sebagai cara berbahasa sopan bukanlah hal yang harus dijauhkan. Yang diharuskan dihilangkan adalah gaya bahasa topeng yang selama 32 tahun dikembangkan oleh rezim yang berkuasa.Gaya bahasa topeng disebutkan sebagai
“proses penghalusan semantik yang berlebihan sehingga terasa enak dan baik tampaknya,tapi kebenaran yang sebenarnya tertutupi”.
Gaya Bahasa Topeng mengakibatkan represi liguistik.Dicontohkan ada empat makna konotatif beberapa kata dan represi liguistik rezim yang berkuasa waktu itu.
Konotasi kekerasan(a.l:kosakata subversive,OTB,PKI) membuat rakyat ketakutan karena juga mengandung
konotasi kejahatan;
konotasi pengendalian(a.l.membina)pada kenyataannya lebih kearah rekayasa,litsus hingga membatasi ruang gerak ;
konotasi kecurigaan (a.l:mewaspadai)yang lebih diarahkan untuk memunculkan suasana saling curiga.Hasil penelitian menyebutkan,itu semua berakibat kebebasan menyatakan pendapat-kreatifitas-daya nalar merosot dan hasil budaya yang bernilai hampir tidak muncul
.(Bahasa Orba,Komponen Terbesar Kebangkrutan Bangsa Indonesia-Kompas 28-10-1998)Penelitian ini sangat relevan.Perlu mencermati istilah yang berbau gaya bahasa topeng.Istilah pesta demokrasi (untuk pemilu) mungkin perlu dikembalikan ke pemilihan umum saja.Istilah oknum,kesalahan prosedur sering dirasakan mengaburkan masalah sebenarnya.Juga istilah Pembauran,SARA.Istilah yang berpuluh tahun di “indokrinasi”kan ini mudah membuat saling curiga. Ditambah dengan pengarahan, ”jangan eksklusif” dan issue “penganiayaan pembantu” klop sudah dengan mudah jadi vonis yang menggeneralisir.Otomatis tahu,siapa yang jadi “sasaran tembak”. Apalagi bila dimanfaatkan untuk kepentingan sesaat. Meski dislogankan untuk persatuan,namun yang terjadi sebaliknya. Seolah dipaksa menutup mata pada realita keragaman dan kenyataan bahwa kebersamaan sudah berlangsung alamiah dan otomatis sejak berabad lalu.
Memasuki satu abad Kebangkitan Bangsa Indonesia,saatnya kita tinggalkan gaya bahasa topeng.Tidak menggunakan istilah
Pesta Demokrasi,karena kenyataannya kita masih susah.Meninggalkan Istilah
Pembauran,SARA yang sarat konotasi kecurigaan dan stigma.Seperti tentunya kita tidak sepakat untuk menggebyah uyah bahwa semua warga timur tengah ataupun kerabat serumpun Siti Nurhalisa-Anwar Ibrahim,identik sebagai tidak menghargai bangsa Indonesia karena banyak TKI/TKW yang jadi korban kekerasan. Kekerasan itu penyimpangan perilaku individual. Kewajiban Negara menegakkan hukum secara tegas untuk melindungi warganya agar tidak berulang.Akan lebih indah bila Pembauran,SARA ditinggalkan dan kembali memasyarakatkan Semboyan Negara.Istilah Bhineka Tunggal Ika yang penuh spirit Persatuan yang cerdas.
Tak lagi pakai istilah
Oknum,Kesalahan prosedur, agar kebenaran muncul dan ada pertanggungjawaban jelas tanpa pandang bulu.Selama ini istilah
oknum,kesalahan prosedur sering berkonotasi rekayasa.Dan ada semangat untuk menutupi kesalahan yang lebih mendasar.Kelemahan sistem berpotensi berlarut karena tidak terkoreksi / terbenahi.
Boleh berbeda pendapat dengan hasil penelitian Prof.Daulat P Tampubolon.Tapi tak ada salahnya menengok sejenak kebelakang “kiprah” Gaya Bahasa Topeng.Awal bulan Maret 1998,satu dasa warsa lalu,Sidang Umum MPR berlangsung secara lancar dan adem ayem.Keresahan masyarakat hanya dianggap sebagai manuver segelintir orang.Hampir semua fraksi SETUJUUU pertanggung jawaban Presiden Suharto.Hanya Fraksi PPP yang berani melakukan koreksi dan kritik.Itupun tidak secara tegas menolak.Dan,ikrar hingga kebulatan tekad mendukung Pak Harto untuk kembali menjadi Presiden sebagai calon tunggal,mengalir deras.Mandatpun kembali diberikan.
Namun,hanya dalam kurun waktu sangat singkat,tidak sampai 3(tiga) bulan,tanggal 18 Mei 1998 ketua MPR/DPR,Harmoko meminta Presiden mundur dari jabatannya.(Lho!)
Betapa galau perasaan Presiden Suharto.Terlena dengan gaya bahasa yang jamak dipakai, membuatnya keliru melihat realita.Benar-benar menyakitkan. Seperti senjata makan tuan. Saking gemas terhadap gaya bahasa yang dinilai menjerumuskan, Presiden BJ Habibie pun sempat meminta “jauhkan Eufemisme”.Semestinya “jauhkan Gaya Bahasa Topeng”
Sopan santun dalam pemahaman universal itu seharusnya dimaknai sebagai sikap, dan tidak berkasta.Bukan semata dinilai sebagai gaya tutur kata.Tak seharusnya memvonis gaya
as they are (apa adanya), sebagai vocal,kontroversial hingga tak santun.Karena halus tidak identik selalu sopan,apalagi kalau ada konotasi seperti diatas.
Ayo Maju Bersatu Indonesia.Dengan BerBahasa yang semestinya kita Bangkit sebagai bangsa yang bermartabat melalui karya-karya gemilang dan diakui dunia.Tinggalkan Gaya Bahasa Topeng yang juga bersemangat A(sal)B(apak/ibu pejabat)S(enang).Ini seringkali menutupi kebenaran. Bahkan malah memonopoli kebenaran.
Semarang ,10-3-2008
(Purnomo Iman Santoso)
Villa Aster II Blok G no. 10,Srondol,Semarang 50268