Sunday, March 23, 2008

Integritas Juga Penting!



Gagalnya fit and proper calon Gubernur Bank Indonesia oleh Komisi XI DPR,menjadi perhatian media.Baik Eksekutif maupun Legislatif punya segudang argumentasi.
Menarik untuk disimak karena dari argumentasi yang muncul semua berpusat pada masalah kompetensi dan jaringan international calon.Sedangkan ada issue lain yang mencuat dalam beberapa kesempatan,namun sepertinya tidak menjadi focus saat fit and proper.Yaitu masalah integritas.
Di media sempat muncul,pertimbangan Eksekutif tidak memilih calon dari intern Bank Indonesia.Yaitu karena adanya kasus yang sedang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi dimana Gubernur Bank Indonesia (sekarang)sebagai tersangka.
Dilain pihak, legislatif curiga calon ekstern yang kebetulan berasal dari BUMN.Ini dianggap sebagai akal-akalan pemerintah untuk menempatkan orangnya sebagai persiapan pemilu 2009.
Akan lebih baik bila baik eksekutif maupun legislatif sepakat dulu tentang pentingnya Integritas calon. Integritas yang dimaknai sebagai sikap.Karena sikap lebih jujur dari kata-kata.Dengan demikian dapat meminimalkan rasa saling curiga.Tidak terjebak adu dalih.Karena terpaku dalih,ibarat diajak nonton pertarungan antara dua jago (ber)silat(lidah). Yang beradu jurus jurus indah berupa pasal-pasal UU dan Peraturan yang hanya dipahami elite.Sampai akhirnya masyarakat bosan sendiri dan tak peduli lagi.
Pasti,profesionalitas dan kompetensi calon tidaklah sembarangan.Tapi factor Integritas sangat penting.Dan perlu diberi bobot yang besar,setara dengan kompetensi.Sehingga nantinya disepakati Gubernur Bank Indonesia terpilih  tidak akan menggunakan profesionalitasnya untuk “memainkan” UU maupun Peraturan dengan  tafsir sepihak  untuk kepentingan sesaat.Tak ada lagi kecurigaan  Pro Eksekutif juga tidak ProLegislatif. Tak hanya Propasar.Namun juga Propublik.
Integritas tidak memerlukan Peraturan. Albert Camus-Filsuf Perancis


Semarang ,23-3-2008


(Purnomo Iman Santoso)
Villa Aster II Blok G no. 10,Srondol,Semarang 50268                                   
 Warga Epistoholik Indonesia

Monday, March 10, 2008

Tinggalkan Gaya Bahasa Topeng

Pada Pidato Pembukaan Kongres Bahasa Indonesia VII, 26 Oktober 1998,Presiden BJ Habibie ,sempat menyebutkan “jauhkan Eufemisme”. Hal ini ditepis oleh Guru Besar liguistik IKIP Medan Prof.Daulat P Tampubolon.
Eufemisme sebagai cara berbahasa sopan bukanlah hal yang harus dijauhkan. Yang diharuskan dihilangkan adalah gaya bahasa topeng yang selama 32 tahun dikembangkan oleh rezim yang berkuasa.Gaya bahasa topeng disebutkan sebagai “proses penghalusan semantik yang berlebihan sehingga terasa enak dan baik tampaknya,tapi kebenaran yang sebenarnya tertutupi”.
Gaya Bahasa Topeng mengakibatkan represi liguistik.Dicontohkan ada empat makna konotatif beberapa kata dan represi liguistik rezim yang berkuasa waktu itu.Konotasi kekerasan(a.l:kosakata subversive,OTB,PKI) membuat rakyat ketakutan karena juga mengandung konotasi kejahatan; konotasi pengendalian(a.l.membina)pada kenyataannya lebih kearah rekayasa,litsus hingga membatasi ruang gerak ;konotasi kecurigaan (a.l:mewaspadai)yang lebih diarahkan untuk memunculkan suasana saling curiga.Hasil penelitian menyebutkan,itu semua berakibat kebebasan menyatakan pendapat-kreatifitas-daya nalar merosot dan hasil budaya yang bernilai hampir tidak muncul.(Bahasa Orba,Komponen Terbesar Kebangkrutan Bangsa Indonesia-Kompas 28-10-1998)
Penelitian ini sangat relevan.Perlu mencermati istilah yang berbau gaya bahasa topeng.Istilah pesta demokrasi (untuk pemilu) mungkin perlu dikembalikan ke pemilihan umum saja.Istilah oknum,kesalahan prosedur sering dirasakan mengaburkan masalah sebenarnya.Juga istilah Pembauran,SARA.Istilah yang berpuluh tahun di “indokrinasi”kan ini mudah membuat saling curiga. Ditambah dengan pengarahan, ”jangan eksklusif” dan issue “penganiayaan pembantu” klop sudah dengan mudah jadi vonis yang menggeneralisir.Otomatis tahu,siapa yang jadi “sasaran tembak”. Apalagi bila dimanfaatkan untuk kepentingan sesaat. Meski dislogankan untuk persatuan,namun yang terjadi sebaliknya. Seolah dipaksa menutup mata pada realita keragaman dan kenyataan bahwa kebersamaan sudah berlangsung alamiah dan otomatis sejak berabad lalu.
Memasuki satu abad Kebangkitan Bangsa Indonesia,saatnya kita tinggalkan gaya bahasa topeng.Tidak menggunakan istilah Pesta Demokrasi,karena kenyataannya kita masih susah.Meninggalkan Istilah Pembauran,SARA yang sarat konotasi kecurigaan dan stigma.Seperti tentunya kita tidak sepakat untuk menggebyah uyah bahwa semua warga timur tengah ataupun kerabat serumpun Siti Nurhalisa-Anwar Ibrahim,identik sebagai tidak menghargai bangsa Indonesia karena banyak TKI/TKW yang jadi korban kekerasan. Kekerasan itu penyimpangan perilaku individual. Kewajiban Negara menegakkan hukum secara tegas untuk melindungi warganya agar tidak berulang.Akan lebih indah bila Pembauran,SARA ditinggalkan dan kembali memasyarakatkan Semboyan Negara.Istilah Bhineka Tunggal Ika yang penuh spirit Persatuan yang cerdas.
Tak lagi pakai istilah Oknum,Kesalahan prosedur, agar kebenaran muncul dan ada pertanggungjawaban jelas tanpa pandang bulu.Selama ini istilah oknum,kesalahan prosedur sering berkonotasi rekayasa.Dan ada semangat untuk menutupi kesalahan yang lebih mendasar.Kelemahan sistem berpotensi berlarut karena tidak terkoreksi / terbenahi.
Boleh berbeda pendapat dengan hasil penelitian Prof.Daulat P Tampubolon.Tapi tak ada salahnya menengok sejenak kebelakang “kiprah” Gaya Bahasa Topeng.Awal bulan Maret 1998,satu dasa warsa lalu,Sidang Umum MPR berlangsung secara lancar dan adem ayem.Keresahan masyarakat hanya dianggap sebagai manuver segelintir orang.Hampir semua fraksi SETUJUUU pertanggung jawaban Presiden Suharto.Hanya Fraksi PPP yang berani melakukan koreksi dan kritik.Itupun tidak secara tegas menolak.Dan,ikrar hingga kebulatan tekad mendukung Pak Harto untuk kembali menjadi Presiden sebagai calon tunggal,mengalir deras.Mandatpun kembali diberikan.
Namun,hanya dalam kurun waktu sangat singkat,tidak sampai 3(tiga) bulan,tanggal 18 Mei 1998 ketua MPR/DPR,Harmoko meminta Presiden mundur dari jabatannya.(Lho!)
Betapa galau perasaan Presiden Suharto.Terlena dengan gaya bahasa yang jamak dipakai, membuatnya keliru melihat realita.Benar-benar menyakitkan. Seperti senjata makan tuan. Saking gemas terhadap gaya bahasa yang dinilai menjerumuskan, Presiden BJ Habibie pun sempat meminta “jauhkan Eufemisme”.Semestinya “jauhkan Gaya Bahasa Topeng”
Sopan santun dalam pemahaman universal itu seharusnya dimaknai sebagai sikap, dan tidak berkasta.Bukan semata dinilai sebagai gaya tutur kata.Tak seharusnya memvonis gaya as they are (apa adanya), sebagai vocal,kontroversial hingga tak santun.Karena halus tidak identik selalu sopan,apalagi kalau ada konotasi seperti diatas.
Ayo Maju Bersatu Indonesia.Dengan BerBahasa yang semestinya kita Bangkit sebagai bangsa yang bermartabat melalui karya-karya gemilang dan diakui dunia.Tinggalkan Gaya Bahasa Topeng yang juga bersemangat A(sal)B(apak/ibu pejabat)S(enang).Ini seringkali menutupi kebenaran. Bahkan malah memonopoli kebenaran.

Semarang ,10-3-2008

(Purnomo Iman Santoso)
Villa Aster II Blok G no. 10,Srondol,Semarang 50268