Mengawali
pembelajaran yang berhubungan dengan materi
marketing,fasilitator membuka dengan
pertanyaan “Apa definisi Pasar”? peserta menjawab beruntun “tempat bertemunya pembeli dan penjual”, “tempat bertemunya penawaran dan
permintaan”…dst dst. Kelas dari awal
sangat hidup, fasilitator segera menutup sesi tersebut dari jawaban cerdas bertubi
dengan pernyataan “semua jawaban benar”.Untuk
kemudian melanjutkan pembahasan secara lebih dalam lagi.
Saat pertanyaan
dilontarkan,yang terbayang dibenak saya tentang pasar adalah: Tempat langganan kebakaran
hebat. Definisi ini muncul karena Pasar akrab dengan kebakaran,dan ini terasa rutin, karena berpindah dari satu kota
ke kota lain dan dari waktu ke waktu.Pasar Ambarawa,Pasar Purworejo,Pasar
Magelang sekian tahun lalu terbakar. Dan yang terjadi dipenghujung tahun
2014,Pasar Klewer Solo terbakar hebat. Dan masih banyak lagi. Saya ingin ikut
berpartisipasi menjawab,akhirnya urung. Belajar dari pengalaman, membuat bisa lebih
mengelola kespontanan. Bisa dianggap tak serius-tidak ilmiah. Lebih ngeri lagi
kalau dianggap “tak beretika”. Meski,ke spontanan justru sebetulnya berdasarkan
fakta dan apa adanya,anehnya, pendengarnya perlu dahi berkerut untuk
memahaminya
Otak diposisikan
di atas/di kepala konon agar,“dipikir dulu sebelum ngomong”. Ini
petuah bijak yang sering kita dengar.Saya suka jengkel pada diri sendiri karena
tidak sepandai teman lain yang kalau omong kok bisa enak didengar, jawab
argumentasi dengan sempurna.Bahkan, tak jarang saat didepan audience pun bisa
omong dengan pandangan mata keatas,yang menunjukkan bahwa omongannya
benar-benar dipikir dahulu. Pengalaman
pribadi, spontanitas berawal feeling yang berdasarkan realitas. Feeling
sebetulnya semacam analisa juga, tapi muncul melalui visual imaginasi dengan
kecepatan sangat tinggi. Pada saat yang sama sulit untuk dijabarkan,namun
nantinya tetap bisa diurai akal sehat. Meski sering diremehkan, seringkali feeling
bisa lebih cepat sekaligus akurat melebihi kecepatan menganalisa dengan
step-step yang sistematik.Juga lebih jujur.Karena spontanitas dan feeling
meminimalkan otak untuk terhindar dari “spam” dalam bentuk “(over) rekayasa”
karena kepentingan,pada setiap tahapan sistematika olah pikir.Hanya saja tak
mudah bisa diterima banyak pihak yang
sudah lebih terlatih mencerna (kata kata) yang dipikir dulu.
Sayang terbuang,
imaginasi tentang definisi pasar tetap dituangkan ke memopad di gadget,
seutuhnya. Dalam hati bergumam, arti pasar
versi imaginasi seharusnya ada benarnya juga. Namun, “definisi” pasar
versi yang terekam imaginasi saya jangan dianggap lumrah.Sebaiknya menjadi
cerita kelam masa lalu yang jangan terulang lagi kedepannya.Agar pasar bisa kembali
seperti yang didefinisikan para penggiat hingga pakar marketing.
Semarang , 4 Maret 2015
(Purnomo
Iman Santoso-EI),
Villa Aster
II Blok G no. 10,
Srondol, Semarang
50268