Wednesday, March 04, 2015

Pasar



Mengawali pembelajaran yang berhubungan dengan materi  marketing,fasilitator  membuka dengan pertanyaan “Apa definisi Pasar”? peserta menjawab beruntun “tempat bertemunya pembeli dan penjual”, “tempat bertemunya  penawaran dan permintaan”…dst  dst. Kelas dari awal sangat hidup, fasilitator segera menutup sesi tersebut dari jawaban cerdas bertubi dengan pernyataan “semua jawaban benar”.Untuk kemudian melanjutkan pembahasan secara lebih dalam lagi.
Saat pertanyaan dilontarkan,yang terbayang dibenak saya tentang pasar adalah: Tempat langganan kebakaran hebat. Definisi ini muncul karena Pasar akrab dengan  kebakaran,dan ini  terasa rutin, karena berpindah dari satu kota ke kota lain dan dari waktu ke waktu.Pasar Ambarawa,Pasar Purworejo,Pasar Magelang sekian tahun lalu terbakar. Dan yang terjadi dipenghujung tahun 2014,Pasar Klewer Solo terbakar hebat. Dan masih banyak lagi. Saya ingin ikut berpartisipasi menjawab,akhirnya urung. Belajar dari pengalaman, membuat bisa lebih mengelola kespontanan. Bisa dianggap tak serius-tidak ilmiah. Lebih ngeri lagi kalau dianggap “tak beretika”. Meski,ke spontanan justru sebetulnya berdasarkan fakta dan apa adanya,anehnya, pendengarnya perlu dahi berkerut untuk memahaminya
Otak diposisikan di atas/di kepala konon  agar,“dipikir dulu sebelum ngomong”. Ini petuah bijak yang sering kita dengar.Saya suka jengkel pada diri sendiri karena tidak sepandai teman lain yang kalau omong kok bisa enak didengar, jawab argumentasi dengan sempurna.Bahkan, tak jarang saat didepan audience pun bisa omong dengan pandangan mata keatas,yang menunjukkan bahwa omongannya benar-benar dipikir  dahulu. Pengalaman pribadi, spontanitas berawal feeling yang berdasarkan realitas. Feeling sebetulnya semacam analisa juga, tapi muncul melalui visual imaginasi dengan kecepatan sangat tinggi. Pada saat yang sama sulit untuk dijabarkan,namun nantinya tetap bisa diurai akal sehat. Meski sering diremehkan, seringkali feeling bisa lebih cepat sekaligus akurat melebihi kecepatan menganalisa dengan step-step yang sistematik.Juga lebih jujur.Karena spontanitas dan feeling meminimalkan otak untuk terhindar dari “spam” dalam bentuk “(over) rekayasa” karena kepentingan,pada setiap tahapan sistematika olah pikir.Hanya saja tak mudah bisa diterima banyak pihak yang  sudah lebih terlatih mencerna (kata kata) yang dipikir dulu.
Sayang terbuang, imaginasi tentang definisi pasar tetap dituangkan ke memopad di gadget, seutuhnya. Dalam hati bergumam, arti pasar  versi imaginasi seharusnya ada benarnya juga. Namun, “definisi” pasar versi yang terekam imaginasi saya jangan dianggap lumrah.Sebaiknya menjadi cerita kelam masa lalu yang jangan terulang lagi kedepannya.Agar pasar bisa kembali seperti yang didefinisikan para penggiat hingga pakar marketing.
Semarang , 4 Maret 2015
(Purnomo Iman Santoso-EI),
Villa Aster II Blok G no. 10,
Srondol, Semarang 50268