Monday, February 18, 2008

Lari, Menyingkir dan Ngacir.



Kisah ini dialami seorang kawan.Kebetulan satu dasawarsa lalu,dia berada di salah satu kota yang dilanda kerusuhan.Begitu ada tanda-tanda tak terkendali,dan setelah membereskan pekerjaannya,iapun minta ijin untuk meninggalkan kantor lebih dahulu.Dia mengungkapkan kegelisahannya “saya tidak bisa konsentrasi,karena anak istri dirumah sendirian.Apalagi anak yang kecil baru panas”.Alasan yang manusiawi sekali.
Sesampai di rumah,kawan saya berkoordinasi dengan keluarga. Kerusuhan sudah menjalar.Kebetulan jalan depan rumah digunakan untuk jalur pemecahan massa.Akhirnya kebingungan sendiri,tidak tahu harus berbuat apa kecuali instropeksi dan berdoa mohon perlindunganNya.
Depan rumah dipenuhi massa,dan pagar rumah hanya sepinggang orang dewasa.Mendadak ada orang mengetuk pintu rumah(berarti sudah masuk kehalaman rumah).Berdebar,mengintip lewat sela-sela korden yang sudah ditutup.Ternyata yang didepan pintu adalah koordinator satpam kantor.Pak Djalal, pensiunan komandan CPM(Corps Polisi Militer),sudah paruh baya,minta ijin masuk.Beliau meminta kawan saya untuk segera mengungsi.”Bapak tidak usah bingung soal kantor nanti saya yang urus.Yang penting harus segera pergi dari sini.Situasi gawat” Mungkin karena mantan komandan,ada nada perintah tegas disuaranya.”Bapak dan keluarga harus cepat berbenah dan keluar dari sini, tidak boleh tenang-tenang.Nanti mobil  saya minta kesini menjemput”
Ditengah situasi kalut,kawan saya berkata:”Pak Djalal, terima kasih atas
perhatiannya.Saya tidak tenang-tenang,tapi baru berpikir cari jalan keluar.Kalau diminta segera menyingkir sangat setuju,tapi lewat mana? Apalagi pakai mobil,mau masuk ke jalan ini dengan cara bagaimana”?
Baru sadar kalau jalan depan rumah sudah dipenuhi massa dan mobil tidak mungkin masuk,akhirnya Pak Djalal meninggalkan rumah dan berpesan bahwa nanti akan kembali lagi untuk membantu kawan saya “lari” .Situasi semakin gawat,kawan saya akhirnya berinisiatip mengungsi ke rumah tetangga,Pak Jatmiko,pemangkas rambut langganannya.Disambut dengan ramah dan diminta beristirahat.Jam 18.00 tahu-tahu Pak Djalal- sudah berdiri didepan pintu rumah Pak Jatmiko.Lengkap dengan mobil kantor menjemput dan memintanya segera berangkat.Usai mengantar keluarga menyingkir, Baru teringat kalau sejak pulang kantor belum makan apapun.Setelah melewati ketegangan beruntun perutpun mulai terasa lapar.Sambil mencari tempat untuk makan,Pak Djalal minta “kalau bisa makan yang kuah-kuah saja” . Walau bukan sasaran kerusuhan,Pak Djalal dan Pak Narimo-Pengemudi ternyata ikut ketakutan “sehingga selera makan hilang”,ujarnya. Walhasil merekapun sama-sama belum makan dan baru bisa merasakan lapar setelah di luar kota.
Setelah menitipkan keluarganya diluar kota,kawan saya kembali lagi.Di perjalanan, coba memantau situasi dengan menelphone Pak Jatmiko. Diterima istrinya,langsung melarang balik lagi”Jangan pak, situasi berbahaya,kerusuhan sudah ke pinggiran kota.Bapak menyingkir saja dulu’
Saat menjelang dan sesudah tumbangnya rezim orde baru terjadi kacau di mana-mana. Ada dalih membingungkan, konon “aparat tidak digunakan untuk menghadapi rakyat”.Saya tercenung. Tidak ada yang meminta aparat menghadapi Rakyat.Tapi kewajiban aparatlah untuk mengatasi pengacau. Seakan lupa,situasi dipicu  tindakan represif aparat kepada mahasiswa Trisakti.Dan terus berlanjut.Saat demo mahasiswa yang berujung Tragedi Semanggi ditayangkan teve,kawan saya dengan mata berkaca-kaca bergumam “Mungkinkah mahasiswa bukan masuk kategori rakyat?kok justru mereka yang diperlakukan seperti gerombolan pengacau” .Kekacauan pun berkembang hingga di Ambon,Kalimantan,Aceh. Dampaknya,ada  warga eksodus pulang ke daerah asal hingga ke luar negeri.Kejadian ini memancing reaksi sementara pihak yang dengan sinis merespon lari sebagai tindakan tidak nasionalis.Bahkan ada Gubernur yang tega memakai  istilah ngacir.
Terbawa arus memvonis sesuai opini yang dibentuk sepertinya akan mengabaikan akal sehat dan budi pekerti.Karena dalam perang gerilya,ada  taktik  Pukul-Lari.Di  Olah raga tinju yang menjunjung tinggi sportifitas,mengenal Hit and Run.Lari dipahami dan dianjurkan sebagai tindakan sesuai akal sehat saat kondisi sangat berbahaya.
Menghargai nyawa dan kehidupan karuniaNYA adalah hal wajib dilakukan setiap insan.Bahkan,Tuhan Yang Maha Kuasa,dalam menguji kesetiaan umatnya tidak pernah dengan meminta nyawa.Tuhan memang meminta anak tunggal Abraham, Ishak,untuk dijadikan kurban persembahan.Toh itu hanya menguji semata .Dan tidak sungguh-sungguh minta (nyawa) Iskak dikurbankan.
Para eksodan turun temurun di negeri ini sejak berabad lalu. Hal sama juga etnik  pendatang di Aceh, Kalimantan. Mereka sudah tiada beda dengan warga setempat dalam hal ikatan batin.Penyebab eksodus sama.Saat kekacauan,hak asasinya tanpa perlindungan semestinya oleh Negara.
Membaca majalah FORUM,seminggu sebelum lengsernya Presiden Soeharto mbak Tutut menegaskan bahwa “seluruh keluarganya tak akan lari ke luar negeri,karena Indonesia adalah tanah kelahirannya/tumpah darahnya.” Dalam hati berdecak kagum.Inilah yang namanya Jiwa Patriot.
Rasa kagum yang berpotensi berlebihan,berangsur-angsur rasional.Setelah mengikuti dengan jernih pemberitaan media waktu itu.Dikoran terkemuka (Kompas 22-5-1998) tertera hal logis yang melatar belakangi sikap”patriotic” keluarga Presiden Suharto.Yaitu,Pernyataan: ”Dukungan Jendral TNI Wiranto”,dimana pada point 4 secara tegas dan jelas menyatakan;
’Menjunjung tinggi nilai luhur budaya bangsa,ABRI akan tetap menjaga keselamatan dan kehormatan para mantan Presiden/Mandataris MPR termasuk Bpk Soeharto beserta keluarganya”.
Walaupun,adanya kata2 “para mantan presiden” ,tidaklah otomatis menjadi bermakna “Menjunjung tinggi nilai luhur budaya bangsa”.Karena hingga saat itu, mantan presiden Soekarno sudah wafat. Jadi hanya ada Pak Harto sebagai mantan presiden satu2nya yang diberi dan menikmati “fasilitas” keselamatan dan kehormatan.Toh pernyataan ini “diamalkan dengan murni dan konsekwen”.
Jelas, karena inilah terjadi perbedaan sikap antara Keluarga mantan presiden Soeharto yang patriotik dengan perilaku para warga (negara biasa) yang “ngacir” jadi eksodan dalam menghadapi situasi yang tidak menentu waktu itu.
Tanpa ini,(mungkin) ceritanya berbeda.Sekaliber(mantan) Diktator Chile,Pinochet, dan (mantan) PM Thailand,taipan Thaksin Shinawarta pun terpaksa menyingkir ke London. (mantan) Presiden Philipina (alm)Ferdinand Marcos juga sama, menyingkir ke Hawai.

Teringat perintah tegas Pak Djalal kepada  kawan saya:.”Bapak dan keluarga harus cepat berbenah dan keluar dari sini, tidak boleh tenang-tenang…”
Juga teringat kekhawatiran Bu Jatmiko kepada keselamatan kawan saya yang notabene “bukan apa-apanya”: ”Jangan pak, situasi berbahaya,kerusuhan sudah ke pinggiran kota.Bapak menyingkir saja dulu’
Dalam hati saya bertanya,mungkinkah seorang gubernur kalah dengan komandan satpam dan istri pemangkas rambut dalam pemahaman dan kepedulian terhadap  hak azazi manusia.
Patriotisme adalah paham cinta tanah air. Kebangkitan Bangsa Indonesia dapat dimulai dengan penyegaran kembali terhadap maknanya. Tolok ukur Cinta Tanah Air tidak bisa terlalu disederhanakan.Sehingga Lari dan Menyingkirnya warga negara biasa karena terancam keselamatannya  tentu tidak bisa dinilai semata-mata sebagai ngacir ataupun tidak cinta tanah air…

Semarang ,18-Februari-2008

(Purnomo Iman Santoso  alias The Tjiauw Liong)
Villa Aster II Blok G no. 10,Srondol,
Semarang

Aku Cin(t)a Indonesia



AKU CIN(T)A  INDONESIA

Krisis moneter yang sudah dirasakan sejak bulan Juli 1997,telah memporak porandakan tatanan kehidupan ekonomi masyarakat.Harga kebutuhan pokok menjadi kacau balau.Pembeli bingung,Penjual tanpa kecuali.Issue penimbunan sembako menimpa para pedagang.Ditunjang pemberitaan gencar media cetak dan teve,para pedagangpun menjadi sasaran kecurigaan masyarakat.
Tahun-tahun itu,saya kebetulan ditugaskan di kota Kebumen dimana istri saya berasal. Suasana tertekan dirasakan hampir semua lapisan masyarakat.
Suatu hari saya mampir dirumah mertua yang berjualan barang kebutuhan sehari-hari.Saya menyaksikan pembeli sedang bersitegang dengan pegawai toko gara-gara harga gula pasir naik dari biasanya.
Lho kok harga naik lagi,kemarin saja kan sudah naik?”
 lha gimana yaaa, wong kulakan*)nya naik,nanti kalau harga tidak ikut menyesuaikan tidak bisa kulakan lagi” ,dengan bahasa halus mertua saya,waktu itu berusia 73 th,mencoba menengahi.
Pembeli yang usianya jauh dibawah mertua dengan garang memaki,”Situ jangan seenaknya menimbun dan menaikkan harga ya dst…. dst “kemudian pergi.Pegawai toko mertua jadi ikut kesal ”siapa sih sing seneng harga naik?dikirane sing dodol ora bingung apa?wis ora tuku,bisane ngamuk”**)
Yang membuat terkejut adalah tuduhan “menimbun dan menaikkan harga” dengan ringannya terlontar.Padahal mertua(janda) mengurus toko kecilnya dibantu satu karyawan,kalau kulakan pun sebenarnya hanya sebatas melayani penjualan eceran untuk para tetangga.Jualan pun hanya karena semangat mertua yang tidak mau pensiun.Jadi hanya untuk kesibukkan “karena tidak mau pikun”
Hari-hari menjelang Bulan Mei 1998,bangsa Indonesia bergolak.Dipelopori mahasiswa mereka meneriakkan Reformasi.
Sayang,tujuan mulia mahasiswa direspon membabi buta.Gugurnya empat mahasiswa Trisakti,memicu kemarahan masyarakat yang berkembang dan (di)belok(kan) menjadi issue rasial yang melanda seantero Nusantara.
Situasi tidak menentu juga melanda Kebumen.Untuk mengantisipasi keadaan,Romo E.Untung M Susanto MSC selaku pengayom umat Paroki St.Yohanes Maria Vianney mengajak umat untuk melakukan Ronda di Gereja Katholik Kebumen.
Saya terpanggil melakukan ronda.Ditengah situasi yang penuh syakwasangka, setiap jam 22.00 berangkat berjalan kaki ke Gereja Katholik.Dijalan biasanya disusul teman ronda yaitu Ha-Hap/Gunawan dan Chien Hwa/Ay Hwa,mereka bersepeda.Berkumpul di aula samping gereja,sudah menunggu Bapak2 umat Paroki yang siap dengan musik keroncongnya. Sambil menikmati musik,kita ngobrol aneka topik dengan akrab sambil menapaki waktu hingga datangnya pagi hari.Romo Untung kebetulan mempunyai hobby sama yaitu menulis.Kamipun berbincang sambil bertukar wawasan. Bahkan Romo Untung memberi buku editorialnya yang berkisah tentang seniornya, “Henk Loogman MSC,Hidup Dan Kharismanya”.
Perbincangan yang serba natural,wajar diantara peronda benar-benar tidak terpengaruh dan sangat berbeda dengan suasana hingar-bingar penuh semangat “kambing hitam” diluar sana.Barangkali inilah yang menyebabkan kami(Hahap-Chien Hwa dan Saya) selalu bersemangat berangkat ronda,walau situasi sangat tidak kondusif.Bahkan walau saya harus was2 meninggalkan istri dan ke dua anak saya yang masih kecil di rumah kontrakan sendirian.
Pada tempat dan waktu berbeda,pernah diajak berbincang oleh kenalan yang mendadak menjadi paling nasionalis.
Ybs menyebut”kalau panjenengan(***) pasti sudah membaur,tidak seperti cina Kebumen yang sipit-mereka tidak membaur” ungkapnya, mungkin untuk membesarkan hati saya. Dengan  memberanikan diri coba  menjelaskan, bahwa saya sama dengan “cina Kebumen”.Bedanya,saya Hitachi(Hitam tapi china).Tapi,tetap sama2 cina.Apalagi oleh negara , memang sejak lahir sudah sah digolongkan menjadi Cina melalui tanda/ciri khusus berupa Staatsblad No.1917-130 di akta kelahiran.Ini artinya,Tentang Catatan Sipil untuk Golongan Timur Cina.Tidak bisa menolak apalagi protes,sekalipun bila orangtua saya(waktu dulu) berdebat dengan dalih nation building.Ironisnya, Staatsblad No.1917-130 ini made in kumpeni,yang sudah terusir dari bumi Nusantara.Dinegaranya sendiri (Belanda),mereka malah ber “Bhineka Tunggal Ika”.Sehingga Ruud Gulit,Frank Rijkard bisa enjoy bermain bersama dengan Marco van Basten,Ronald Koeman,Erwin Koeman dan menjadikan Kesebelasan Belanda Juara Eropa th 1988. Patrick Kluivert,Edgar Davids,Gaston Taument,Clerence Serdorf bersama  Frank de Boer,Edwin de Boer,Edwin van der Sar,Dennis Bergkamp menjadikan kesebelasan Belanda disegani tidak hanya di eropa namun juga di dunia.
Soal membaur,saya jelaskan bahwa tak layak diperdebatkan.Apalagi bila dibanding Mobnas/Mobil Timor(masa-masa itu promosi mobnas Timor sedang gencar-gencarnya). “Karena walaupun (ujug-ujug) dikatakan (sebagai)Mobil Nasional, tapi kenyataannya built up/100% import.Sedang “cina kebumen”,tampilan genetiknya memang ada yang built up dengan ciri kulit kuning dan mata sipitnya,namun telah turun temurun di Indonesia dan komponennya pasti mencapai 100% lokal.Bukti nyatanya, dengan Pecel,Golak,Sate Laler,Sop Amat,Nasi Penggel,Soto Darsum,****) mereka akrab dan biasa bersosialisasi dan beraktifitas tanpa kenal sekat dan batas dari masa ke masa”.
Tidak ada kepuasan ataupun merasa “menang” berargumentasi  dengan kawan yang paling “nasionalis” tadi.Begitu teringat suasana wajar,natural saat ronda,disatu sisi saya hanya bisa bersyukur. Dengan realita yang ada,telah mencoba berpartisipasi meluruskan issue yang berspirit memecah belah.Walau disisi lain merasa lelah membuang waktu dan energi percuma untuk menjelaskannya ditengah opini yang dibuat salah kaprah,menyesatkan dan memojokkan serta jauh dari semangat Persatuan dan Kebersamaan ditengah Perbedaan.
Memasuki era Reformasi, 7 September 1998,Kebumen dilanda kerusuhan. Warga  yang menjadi korban,berkonsolidasi melalui Forum Kepedulian Korban Kerusuhan Kebumen (FK4).Saya meminta kesediaan Romo Untung melakukan pendampingan korban di FK4.Dengan antusias beliau bersedia meluangkan waktu,lengkap dengan masukkan2nya yang cerdas dan menyejukkan pada setiap rapat yang kami adakan di Klenteng Khong Hwie Kiong,Kebumen.
Thn 1999,teringat hobby Rm Untung selain menulis,ternyata pinter ndalang.Kebetulan saya punya kawan juga pinter ndalang.Jadilah kita sepakat buat acara wayang kulit,digelar diaula samping gereja untuk masyarakat umum.
Malam beranjak larut,acara meriah yang membuat saya betah mendadak berubah.Setelah dari mulut ke mulut mendengar kabar pertikaian antar simpatisan parpol besar di Gombong.Saat itu menjelang pemilu.Trauma Kerusuhan Kebumen dan Tanggung jawab selaku kepala keluargalah yang akhirnya memaksa saya berkoordinasi untuk mengatur kepulangan teman2.Setelah itu,sayapun harus meninggalkan pentas  duet “dalang” Rm Untung-Budi(teman saya dari  kerabat keluarga dalang kondang di Purwokerto) mendahului acara usai.

Menyongsong Satu Abad Kebangkitan Indonesia (20 Mei 1908 -20 Mei 2008),Kenangan indah satu dasawarsa lalu pada kegiatan di Gereja Katholik  Kebumen yang penuh  Kebersamaan,sangat membekas.Sayang dibiarkan berlalu dan terlalu indah untuk dilupakan.

AKU CIN(T)A INDONESIA.Memang,dari sononya,dan oleh negara digolongkan, sebagai Cina.Yang Tidak bisa dipungkiri dan juga yang  tak boleh dilupakan adalah bahwa  Cina  Indonesia juga  Cinta Indonesia.Saatnya menumbuh kembangkan Kebersamaan Dengan Tetap Menghargai Perbedaan.Sehingga Indonesia Segera Bangkit untuk Maju Bersatu Menjadi Bangsa Yang Kuat dan Bermartabat Ditata Pergaulan Global.


Semarang,18 Februari 2008



(Purnomo Iman Santoso alias The Tjiauw Liong)
Villa Aster II Blok G No. 10
Srondol
Semarang


kulakan*)=membeli lagi
dikirane sing dodol ora bingung apa?wis ora tuku,bisane ngamuk”**)=dikiranya penjual tidak bingung?sudah tidak beli,bisanya marah-marah
panjenengan(***)=anda
Pecel,Golak,Sate Laler,Sop Amat,Nasi Penggel,Soto Darsum,****)=panganan khas kebumen

Tuesday, February 12, 2008

Evaluasi Lagi Industrialisasi Sepakbola Nasional



Kalau mengingat bintang sepakbola masa lalu;semisal Anjas Asmara,Ricky Yacob;yang menonjol sikap olahragawannya.Kesahajaan bahkan kesan cerdas sangat tercermin pada Ronny Patinasarani,Abdul Kadir,Iswadi Idris.Kalau“Bintang”sepakbola   masa kini lebih menonjol sikap selebritisnya. Embel-embel profesional hanya tampak pada gaji yang selangit ,Mode rambut,anting dan juga gaya hidup yang “glamour”. Sayang memang. Kalau ditelisik lebih jauh, Iswadi pernah bermain di klub papan atas Australia,Ricky Yacob pernah dikontrak main klub terkemuka di Jepang.Mereka dilirik bermain sebagai profesional di era awal industrialisasi sepakbola dunia merambah Asia-Australia.Tidak perlu dikarbit dengan “proyek” ala Primavera,skillnya diakui dan dihargai sangat pantas. Sungguh membanggakan bangsa Indonesia.Dengan profesionalismenya meraup devisa.
Produk Industrialisasi Sepakbola Indonesia memang sudah menghasilkan pemain profesional dan bermain untuk klub luar negri.Safrudin Fabanyo,Bambang Pamungkas,Elly Aboy bermain di klub Liga Malaysia.Namun dibanding yang di “ekspor’,pemain yang di “import” jauh lebih banyak.Konon,pemain import yang lolos seleksi bermain di Liga Indonesia dinilai memiliki profesionalisme yang handal. Nyatanya ke”profesional”an pemain-pelatih asing tak jarang justru menonjol pada hal-hal yang kurang sportif.Ilmu inikah yang akan ditimba untuk pemain lokal?
Industrialisasi Sepakbola Indonesia saat ini perlu di evaluasi kembali.Membanjirnya pemain dan pelatih asing di ajang Liga Indonesia ternyata berbanding terbalik dengan prestasi kesebelasan PSSI.Terpuruk di kancah Internasional.
Belum lagi berulang kali terjadi kerusuhan saat pertandingan sepakbola.Sulit rasanya menerima dengan akal sehat  dalih dari pengurus organisasi sebesar PSSI sebagai argumen cerdas.Kesan kuat bahwa PSSI belum siap mengelola  Industrialisasi Sepakbola sangat nyata.Mungkin lebih baik segera mencari ketua baru(karena ketua sekarang “sedang berhalangan karena berurusan dengan hukum”),dan sebaiknya kembali ke pola sebelumnya.Bukan berarti kemunduran,namun memang belum mampu.Jadi,kembalilah ke kompetisi Perserikatan untuk Amatir.Untuk yang profesional hidupkan Galatama. Klub profesional belajarlah pada Niac Mitra.Mendatangkan David Lee dan Fandi Achmad tanpa menggunakan dana APBD.Berprestasi menjuarai turnamen Aga Khan di India disamping juara Galatama.Juga Pardetetex yang mendatangkan (sendiri) pemain dari Inggris dan Jairo Matos( Brasil). Tambahan usulan.Sambil menyiapkan mental pemain agar matang,pertandingan disiarkan lewat radio saja.Banyaknya kericuhan antar pemain di lapangan,mungkin indikasi pemain bola lebih merasa sebagai artis daripada atlit. Lapanganpun dianggap hanya layar kaca.Seharusnya bermain bola tapi malah(over)acting dan mengabaikan sportivitas.
Semarang ,12-2-2008

(Purnomo Iman Santoso-EI)
Villa Aster II Blok G no. 10,Srondol,
Semarang 50268