Saat menjelang
ajaran baru waktu lalu ,melihat spanduk mempromosikan sebuah Sekolah Dasar . Yang
menarik ada kata-kata Full Day School. Iseng bertanya ke teman. Dijelaskan di
system Full day School ada pelajaran Bahasa asing,computer dll. Anak bawa bekal
makan siang, karena pulang lewat tengah hari. Tersirat Full Day school sekolah
favorit di era orangtua sibuk cari uang “demi anak”. Keinginan disamping pintar
juga agar jadi anak baik dan“Takut Tuhan”, dapat terpenuhi komplit. Tertegun, dengar
penjelasan tsb. Dalam hati, beruntung lahir lebih dahulu, sehingga tak
mengalami SD dengan jam pelajaran begitu panjang. Mengenang masa TK/SD tak ada
yang menakutkan. Apalagi pelajaran olah raga,karena sejak kelas 5 SD diikutkan
pertandingan kasti antar SD saat 17 Agustusan. Setiap hari makan dirumah.Pelajaran
agama ingatnya cerita guru tentang Kebesaran Tuhan,Sang Pencipta dunia dan seisinya.
Sekedar pembanding, jam pelajaran SMP-SMA waktu itu sampai jam 13, kalau jumat
sampai jam 11; Ada pelajaran kosong yang bisa digeser,berarti pulang lebih awal.
Suatu hari
mendengarkan perbincangan tentang Hard Skill dan Soft Skill di radio.Pembahasan
menarik. Yang teringat,hard skill itu terwakili di ijasah. Tak jelas definisi
soft skill persisnya,hanya diterangkan di dunia nyata, Soft skill justru sangat
menentukan keberhasilan seseorang.
Full day School
diyakini telah melalui kajian pakar.Tapi soft skill tampaknya tak mudah dibuat
“ekstrak”nya. Karena,Soft skill akan utuh bila dengan proses natural. Aktifitas
diluar sekolah sering dianggap remeh.Faktanya Buku cerita,komik, justru lebih
merangsang imaginasi untuk berkembang dan hidup dari pada buku pelajaran yang
terasa“kaku”. Demikian juga bermain,corat-coret dinding kamar, pertemanan
diluar sekolah, yang sering dicap minor,
buat kotor,”pergaulan bebas”,dll.Padahal dengan aktifitas tsb anak bisa melihat
realita bahwa gunung tak selalu biru,sawah tak identik warna hijau,teman dari luar
sekolah tak sama dengan “mahluk asing” atau
dianggap musuh bersama. Minat anak tak serta merta tergali jam pelajaran meski sehari
penuh. Sering kali butuh inspirasi agar bakat muncul. Tak jarang anak berjuang
sepenuh hati memunculkan minatnya dengan harus ”berontak” terhadap sistem demi melahirkan
karya terbaiknya,meski di cap anak
”bermasalah“. Sebagai awam merenung. Apakah tak lebih baik,anak (apalagi
usia SD)punya cukup waktu dengan keluarga,sehari-harinya?(sesibuk sibuknya) orangtuapun
tak memasrahkan pendidikan kepada sekolah.Kalau Kerewelan,merajuk, ekspresi
anak yang paling jujur untuk minta perhatian. Bukankah lebih baik bisa
teraktualisasi pada orangtuanya (daripada ke orang lain). Meski bisa “menjengkelkan”,
setidaknya masih dipercaya anak untuk jadi pemberi solusi.Th 2010 an, ada
wawancara Founder sekaligus CEO Air Asia,Tony Fernandez oleh Dessy Anwar di
metro teve.Prestasinya gemilang,meraih Masterclass Global CEO of the Year.Pertanyaan
jelang usai wawancara“Apa yang membuat anda sedih?” Jawaban
diluar dugaan. “yang paling membuat saya
sedih adalah tidak bisa melewatkan waktu bersama anak2,mengantar-jemput
sekolah,berkumpul anak2”.Kematangan bisa meredam air matanya agar tak runtuh.Tapi
suara hati yang selama ini diabaikan dengan argument cerdasnya, tak bisa lagi
dibungkam.Bergetar,terbata, saat berucap.Ada penyesalan dalam karena tak mendampingi
anaknya saat bertumbuh,tak bisa diingkari. Dan,Kesuksesannya ternyata tak bisa
“membeli” momen itu kembali.
Masa kanak-kanak
hanya (sebentar) sekali. Biarkanlah imaginasinya tak terbonsai formulasi kurikulum,
tak “terpasung” dinding kelas,juga tetap bisa memahami bahwa Tuhan Maha Baik.Biarkan
Fisik-mental-kecerdasan-spiritual berkembang alami dan seimbang tanpa selalu dibayangi
kekhawatiran tidak ranking,tak naik kelas,apalagi masuk neraka.Kematangan,kearifan,kreatifitas,jatidiri,tak
otomatis terwakili nilai akademis.Juga tak selalu identik predikat “anak manis”.Teringat
film Laskar Pelangi.Diskusi Pak Harfan,dengan ibu guru Muslimah menyimpulkan: “Mendidik
itu masalah Hati”. Ya,masalah hati.Tak sekedar otak ataupun materi.Anak Titipan
Tuhan.Utamanya dititipkan Tuhan pada orangtuanya.
Semarang , 9 Januari 2015
(Purnomo
Iman Santoso-EI),
Villa Aster
II Blok G no. 10,
Srondol, Semarang
50268